Minggu, 25 Desember 2011

perindustrian bunga anggrek

Minggu, 25 Desember 2011 |
Dari Batu Bata ke Industri Gerabah PDF Cetak E-mail
Dibaca: 184 kali.
Ekonomi & Bisnis
Ditulis oleh cr01/ira
Selasa, 07 September 2010 14:27
Jambi - Berawal dari belajar sendiri, Supangat (46) akhirnya berpindah profesi dari pembuat batu bata menjadi pengrajin gerabah. Kini dengan gerabah yang dikerjakan dengan dua orang ini mampu menopang kehidupan keluarganya. “Sudah mulai dari sekitar tahun sembilan puluhan dulu,” ujarnya.
Ia mengatakan, setelah mencoba sendiri, akhirnya ia meminta ke Dinas Perindustrian untuk membuat pelatihan. “Dulu sekitar 20 orang, sekarang tinggal saya sendiri yang benar-benar membuat gerabah ini,” terangnya.

Hasil industri gerabahnya berupa pot bunga anggrek dengan berbagai ukuran, guci, tempuni, dan cowekan. “Kalau ini bahasa Jawa-nya disebut tempuniari-ari kalau melahirkan,” ujarnya menerangkan. “Kalau cowekan untuk tempat sambal tradisional,” jelasnya. Harga cowekan lebih mahal, kerena pembuatannya paling susah dibandingkan pembuat gerabah jenis lain. untuk tempat

Ia mengatakan, saat bunga anggrek lagi menjadi tren, ia mampu menjual 700 buah pot bunga anggrek dalam satu minggu. “Pot bunga anggrek ini pesanannya dari berbagai orang, mulai instansi, perorangan, untuk taman dan sebagainya dengan berbagai ukuran, sayangnya sekarang ini agak kurang,” tuturnya. Selain itu, pot anggrek hias ini bisa dipesan bentuknya dan untuk harganya ukuran kecil Rp 1.700 per pot.

Sedangkan untuk tempuni, mampu dibuatnya 50 buah pot dalam sehari. Harga yang diberikan Rp 3.000 per tempuni. “Kalau pembelian banyak jadi Rp 2.500 saja,” terangnya. Untuk guci ukuran kecil dijual dengan harga Rp 1.500. “Tempuni paling banyak dipesan. Rumah sakit dan rumah bersalin selalu membeli ini untuk tempat ari-ari melahirkan,” jelasnya.

Pembuatan jenis gerabah saat ini paling banyak dipesan dan diminati konsumennya. Pemasaran juga sudah mencakup luar daerah, seperti Muarojambi, Muarabulian, dan Muarabungo. “Ada permintaan dari sana, kemarin masing-masing minta sebanyak 300 buah,” ujarnya.

Ia mengatakan pembuatan gerabah ini lebih sedikit menghabiskan tanah dibandingkan bau bata. “Kalau satu batu batu bisa menjadi lima buah guci,” terangnya. Untuk pembuatan ia hanya memerlukan tanah yang dibeli Rp 160.000 per truk. “Sedangkan yang lebih mahal adalah kayu bakar, per truk Rp 500.000,” ujarnya.

Untuk warna, lebih banyak yang memesan warna alami. “Warna alami lebih disukai. Sekarang permintaan lumayan banyak, meski tidak tinggi juga. Kalau lagi banyak tidak terlayani,” jelaskan. (cr01/ira)


Related Posts



0 komentar:

Posting Komentar

LINK TEMAN

  • darmian
  • mr darmianll
  • avan
  • mr avanll
  • Pengikut

     
    Copyright © perindustrian | Powered by Blogger | Template by Blog Go Blog