Minggu, 25 Desember 2011

perindustrian pembuatan ikan asin

Minggu, 25 Desember 2011 |
POTENSI INDUSTRI IKAN GABUS ASIN

Harga ikan asin bisa lebih tinggi dari daging sapi. Begitulah celoteh ibu rumahtangga. Ikan asin jambal roti, teri putih (teri nasi) dan teri medan, sepat tanpa kepala dan gabus asin memang selalu di atas harga daging sapi. Kalau rata-rata daging sapi kualitas baik sekitar Rp 35.000,- per kg, maka harga ikan-ikan asin tersebut selalu di atas Rp 35.000,- di tingkat konsumen (rata-rata per ons Rp 4.000, sd. 6.000,-). Salah satu ikan mahal tersebut adalah gabus. Ikan ini disukai masyarakat karena citarasa dagingnya yang lezat dan sangat khas. Durinya sedikit dan mengumpul. Selain itu, ikan asin gabus relatif bersih karena sebelum diasin sudah dibelah serta dibersihkan sisik, insang serta isi perutnya. Mahalnya harga ikan asin ini tentu saja tak terlepas dari hukum pasar. Permintaan lebih tinggi dari pasokan. Selama ini ikan gabus memang belum bisa dibudidayakan (dalam arti dipijahkan = dibenihkan). Beda dengan ikan air tawar lainnya seperti mas, nila, lele dan gurame yang sudah bisa dipijahkan massal, baik secara alamiah (nila, gurame) maupun buatan (mas, lele). Jadi budidaya gabus (dalam arti pembesaran), selama ini masih harus mengandalkan benih tangkapan dari alam. Terutama dari rawa-rawa serta waduk. Salah satu penghasil gabus yang terkenal adalah waduk Cacaban di dekat Slawi, Kab. Tegal, Jawa Tengah. Hampir seluruh hasil ikan gabus dari Cacaban dibuat ikan asin.

Ikan asin jambal roti, memang lebih terkenal dibanding gabus. Namun saat ini sudah banyak konsumen yang mengetahui, bahwa ikan asin ini proses produksinya sering tidak higienis. Sebenarnya proses produksi ikan asin yang benar adalah dengan "memeramnya" dalam kristal garam. Baik jambal roti maupun maupun gabus selalu dibelah terlebih dahulu, dibuang insang serta isi perutnya, baru kemudian ditata dalam wadah penggaraman. Mula-mula ke dalam wadah tersebut (biasanya drum plastik), ditaruh lapisan garam, baru kemudian ikan, garam lagi, ikan lagi dan seterusnya. Bagian bawah wadah diberi lubang untuk mengalirkan cairan ikan. Karena sifat garam yang higroskopis (menyerap air), maka cairan daging ikan itu akan diserap keluar oleh garam. Selanjutnya, cairan yang sebelumnya mengisi jaringan daging ikan, akan tergantikan oleh garam. Cairan ikan yang dikeluarkan garam itu akan menetes melalui lubang di bagian bawah wadah. Setelah cairan tidak menetes, wadah harus dikontrol. Apakah garamnya masih ada atau sudah habis. Kalau garamnya masih ada, berarti seluruh cairan ikan sudah terkeluarkan. Tetapi kalau garamnya habis, ada kemungkinan cairan ikan masih tersisa dan belum seluruhnya terserap oleh garam. Untuk itu, tumpukan ikan harus dibongkar dan diberi garam lagi seperti semula. Demikian dilakukan sampai cairan tidak lagi menetes, tetapi garam masih ada. Kondisi ini menunjukkan bahwa seluruh air dalam jaringan tubuh ikan sudah tergantikan oleh garam. Selanjutnya, dilakukan penjemuran.
Penjemuran ikan dalam proses pembuatan ikan asin, bukan dimaksudkan untuk "menguapkan" seluruh air, tetapi sekadar untuk lebih mengeringkan permukaan ikan. Jadi, proses utama pembuatan ikan asin bukan terletak pada penjemuran, melainkan penggaramannya. Inilah yang sering dikelirukan oleh produsen maupun konsumen ikan asin. Konsumen yang "bodoh" selalu akan menanyakan, apakah ada ikan asin yang "tidak terlalu asin" atau malahan yang tawar. Memang ada ikan kering (bukan ikan asin) yang tawar. Tetapi biasanya ikan demikian berupa ikan yang tipis-tipis (misalnya belis) atau ikan besar (misalnya pari) yang disayat tipis-tipis. Kalau ikan itu cukup tebal, misalnya jambal roti dan gabus, mutlak harus digarami sampai jenuh baru dijemur. Karena proses penggaraman ini bisa berlangsung sampai 2 hari bahkan lebih, maka banyak produsen yang tidak sabar. Kebetulan ada juga konsumen yang senangnya ikan asin "tawar". Maka proses pengasinan jambal roti pun dipersingkat hanya sehari atau kurang. Akibatnya, pada waktu penjemuran, bagian dalam ikan yang belum terisi garam akan mengalami pembusukan. Lalat pun akan merubung ikan asin yang "kurang asin" ini. Untuk mengusir lalat, produsen tidak segan-segan menyemprotkan racun serangga termasuk DDT bahkan Baygon.

Teknologi pengasinan jambal roti pun berkembang. Untuk mencegah pembusukan, produsen sengaja menambahkan antibiotik murah (biasanya untuk ternak), asam benzoat bahkan juga formalin yang lazim digunakan untuk mencegah pembusukan pada mayat. Lembaga Konsumen masih belum menerima laporan pembuatan ikan asin yang "luarbiasa" ini. Lebih-lebih pemerintah, dalam hal ini Dinas Perindustrian dan Perdagangan. Hampir semua ikan asin mahal proses pembuatannya tidak higienis. Bahkan sekarang juga termasuk ikan asin murahan seperti layang, tembang dan japu. Yang proses pembuatannya masih murni (hanya menggunakan garam) adalah peda (putih maupun merah), sepat dan gabus. Peda sulit untuk diberi formalin atau pengawet lainnya, sebab dalam penggaraman, sekaligus harus terjadi fermentasi hingga timbul aroma khas peda. Dengan diberi pengawet, aroma khas peda ini tidak akan muncul. Pada sepat dan gabus, penggunaan pengawet ini juga tidak dilakukan, karena volume ikan yang digarami, tidak pernah dalam jumlah banyak sekaligus. Sepat adalah ikan "liar" yang ditangkap di perairan sungai di Kalimantan, sementara gabus lazim ditangkap di perairan (rawa atau waduk) di Jawa.

Sebenarnya, gabus berpeluang untuk dibudidayakan secara serius, meskipun proses pemijahannya belum bisa dikalukan secara buatan. Hanya saja, sebagai ikan carnifora (pemakan daging) sekaligus predator, gabus harus diberi makan secara ekonomis. Cara yang paling populer adalah dengan memelihara gabus bersamaan dengan nila. Sebagimana kita ketahui, nila berpijah secara alamiah di tempat pemeliharaan. Telur nila akan "dierami" induknya di dalam mulut sampai menetas. Kemudian setelah menetas pun, sampai ukuran tertentu, anak nila ini akan tetap dipelihara dalam mulut sang induk. Baru kemudian setelah dirasa cukup kuat, anak-anak ikan ini akan disapih. Nila adalah ikan herbifora (pemakan lumut dan plankton). Tetapi dewasa ini, nila sudah lazim diberi pelet untuk memacu pertumbuhannya. Kalau nila dipelihara bersama dengan gabus, maka anak-anak nila inilah yang akan jadi santapan sang gabus. Sementara induk nilanya akan menjadi besar tanpa takut dimangsa gabus. Pertama-tama dilakukan penebaran calon induk nila, seukuran tiga jari. Apabila diberi pelet, dalam waktu kurang lebih sebulan, nila sudah akan menghasilkan anak. Pada saat itulah ditebar gabus ukuran satu jari. Dalam jangka waktu 3 sd. 4 bulan sudah akan dihasilkan nila seukuran telapak tangan dan gabus seukuran tiga jari. Untuk menghasilkan gabus dengan bobot 0,5 kg, diperlukan jangka waktu pemeliharaan 6 sd. 8 bulan.

Tentu akan timbul pertanyaan. Dari mana asal-usul benih gabus ukuran satu jari. Sebab benih tangkapan dari alam yang disebut sebagai impun, ukurannya baru sepanjang 1,5 sd. 2,5 cm. Benih yang masih sangat kecil tersebut, oleh para peternak ikan akan dibesarkan dalam bak pembesaran benih atau akuarium. Pakannya mulai dari artemia, jentik nyamuk dan cacing sutera. Setelah mencapai panjang 5 cm. benih gabus itu sudah bisa menelan cacing tanah, keong atau bekicot yang dicincang halus. Pakan ini diberikan terus sampai anakan gabus tersebut mencapai ukuran satu jari atau sepanjang 10 cm. Pada saat itulah gabus sudah berani untuk ditebar di kolam pembesaran bersama dengan induk nila. Lele dumbo (bukan lele lokal) dan jambal siam (lele bangkok = Pangasius suchi) atau yang oleh masyarakat disebut sebagai "patin" sebenarnya juga merupakan ikan predator yang carnifora. namun ikan ini sudah bisa dipijahkan secara buatan, hingga sejak telur menetas, mereka sudah terbiasa diberi pakan buatan. Selanjutnya, lele dan "patin" ini akan terbiasa mengkonsumsi pelet. Gabus, sulit untuk diberi pelet sebab anakan ikan ini dipijahkan secara alamiah di perairan lepas. Hingga sifat liarnya sulit untuk diubah menjadi perilaku ikan budidaya yang bersedia mengkonsumsi pelet.

Alternatif lain pemeliharaan gabus adalah dengan menggabungkannya dalam sebuah unit peternakan ayam atau itik. Mortalitas ternak ayam itik yang ditoleransi adalah sekitar 2 sd. 5% dari populasi per bulan. Kalau yang dipelihara 1.000 ekor, maka tiap bulannya akan ada 20 sd. 50 ekor ayam atau itik mati yang harus dikubur atau dibakar. Dengan memelihara gabus, itik dan ayam mati ini akan menjadi pakan alamiah dari ikan pemakan daging tersebut. Agar kolam tetap higienis, sebelumnya bangkai ayam dan itik itu perlu dibakar sampai betul-betul matang. Setalah itu baru dimasukkan ke dalam kolam. Tujuan pembakaran, selain untuk merangsang nafsu makan gabus, juga agar bibit penyakit yang ada dalam tubuh ayam dan itik itu bisa musnah. Selain digabungkan dengan peternakan ayam dan itik, peternakan gabus ini juga bisa memanfaatkan kelinci dan marmut. Dua ternak pemakan rumput ini sangat cepat berbiak, namun masyarakat kurang menyukai dagingnya. Salah satu alternatifnya adalah beternak kelinci dan marmut untuk konsumsi ikan gabus. Pada peternakan kelinci, lebih-lebih kelinci Rex, keuntungannya ada dua. Pertama kulit kelinci itu merupakan hasil utama. Baru kemudian dagingnya dimanfaatkan untuk pakan gabus. Dengan cara kreatif demikian, kebutuhan ikan asin gabus akan terpenuhi. Bahkan apabila volume ikan gabus makin besar, pasar segarnya pun masih cukup baik daya serapnya. (R) **


Related Posts



0 komentar:

Posting Komentar

LINK TEMAN

  • darmian
  • mr darmianll
  • avan
  • mr avanll
  • Pengikut

     
    Copyright © perindustrian | Powered by Blogger | Template by Blog Go Blog